Kita sering mendapatkan informasi terkait pelatihan “the art of listening” dimana kemampuan mendengarkan selalu dikaitkan dengan kesuksesan sesorang individu hingga level management (baca: orang-orang yang menempati posisi managerial ke atas).

But apa sebenarnya mendengarkan itu? Menggunakan dua buah telinga kita untuk menerima setiap kata yang terlontar dari lawan bicara kita sebelum otak kita memproses maksud atau pesan yang ingin disampaikan kah? Simple-nya, yass. Mendengarkan memang identik dengan menggunakan fungsi kedua telinga kita.

Itu sebelum kita menyadari bahwa lawan bicara kita pun tidak hanya menggunakan kata yang ia ucapkan saat berkomunikasi. Eh? Maksudnya? Lawan bicara kita pun berkomunikasi – menyampaikan pesan dengan seluruh tubuhnya, seluruh energinya dan terkadang apa yang tidak mereka ucapkan itulah yang paling perlu didengarkan.

Setidaknya itu untukku.
Setelah puluhan tahun berlatih mendengarkan, para mentorku ada di Facebook ini, saat ini aku mencapai nunchi dan ini tidak terbatas dari lawan bicara face-to-face saja namun aku sudah mulai memahami arti tulisan dari seseorang.

Aku pun mengetest-nya melalui hashtag campaign untuk salah satu brand yang aku bantu saat ini, selang beberapa hari, kompetitor pun ikutan menggunakan hashtag tersebut. Kenapa? karena hashtag tersebut resonate dengan kita semua dan merupakan hasil dari mendengarkan yang belum terucap secara explicit.

Menarik ya? Aku bersedia berbagi dan sharing tools untuk bisa mendengarkan hingga mencapai level nunchi… mungkin inilah alasan alam semesta pun membiarkan orang-orang yang butuh didengarkan menemukan ku… karena hanya melalui pengalaman langsung aku bisa terus belajar dan mengeksplorasi kemungkinan yang ada dari sebuah seni mendengarkan.