Ada yang menarik dari pengalaman lima tahunan kali ini yang sepertinya bisa diangkat menjadi sebuah buku bahkan melanjutkan buku #YaTuhandi kantor Imigrasi.
Aku sampai di kantor imigrasi tepat pukul 07:00 pagi ini. Aku sengaja mengepaskan kedatanganku di jam 7:00 karena hasil riset melalui mbah Google menegaskan bahwa pelayanan loket antrian di mulai pukul 07:30. “Setidaknya ada 30 menit spare”, pikirku cepat.
Namun, ada kegundahan hati dari semalam yang datang-pergi silih berganti. Perasaan tidak nyaman semalam terjawab saat aku melangkahkan kaki ke ruang tunggu… “Astagaaaa!” jeritku dalam hati setengah tidak percaya – setengah merasa bodoh (karena tidak menggubris perasaan tidak nyaman dari semalam) melihat lautan manusia di depanku.
“Pak, antrian yang manual sebelah kiri atau kanan ya?” tanyaku pada petugas di lapangan. Berharap dia menjawab sebelah kanan (lebih sedikit yang antri).
“Oh yang manual di sebelah kiri saya ini, mbak.” jawabnya yang ku iyakan dengan tatapan tidak terima.
“Baik, pak. Terima kasih ya”, jawabku cepat sambil menyeret kakiku. Dang! Aku “terlambat” nih yang antri di sini jauh lebih banyak dari antrian sebelahnya.
Ular naga panjangnya bukan kepalang….
Otakku mulai menghitung jumlah kursi yang diduduki dan jumlah orang yang berdiri mengantri.
“Gawat nih, lebih dari 70 orang yang duduk dan 15 orang yang berdiri” pikirku mulai menghitung dan berharap proses berjalan lancar.
Namun hingga pukul 08:10 belum ada perubahan. Orang-orang yang duduk di baris pertama tidak bergeming. Mereka belum bergerak sesenti pun. Aku mulai gelisah. Budaya ngaret memang sudah kental, namun ku harap budaya tersebut tidak menjamur pada institusi pemerintahan yang melayani publik seperti ini.
“Perhatian!” terdengar suara petugas dari pengeras suara seperti komandan perang menyiapkan pasukannya. “Dikarenakan kami mendahulukan antrian prioritas. Maka. Dimohon kesabaran Anda. Terima kasih.” ujarnya tegas tanpa pengulangan seolah-olah mengerti detik waktu yang terus berganti dan dia tidak ingin membuang waktunya.
“Kok komunikasinya gitu amat sih?! Gak jelas!” ujar seseorang yang antri dibelakangku. Membuatku kembali mengulang kata demi kata yang petugas sebelumnya ucapkan. Benar juga ya. Inti dari ucapan tersebut adalah, “yang prioritas lagi di dahulukan, mohon kesabaran pengantri lainnya”, tanpa menjelaskan (sepertinya berharap semua pengantri paham dengan sendirinya) apa yang dimaksud dengan prioritas dan mengapa mereka bisa didahulukan.
~ untungnya, aku paham maksud prioritas tersebut.
1 jam berlalu dan belum juga ada titik terang. Pergerakan antrian yang duduk terhitung lebih lambat dari asumsi kalkulasi yang ku lakukan. “Kalau begini, alamat harus datang lagi minggu depan…” batinku.
“Perhatian!” dan suara komandan pun terdengar kembali setelah satu jam lebih berlalu. Tepat pukul 09:20. “Saya kembali tegaskan. Nomor antrian pelayanan di buka pukul 07:30 dan di tutup pukul 10:00 tapat! Bagi bapak ibu yang masih duduk juga berdiri di antrian ini dapat saya pastikan 100% tidak akan bisa terlayani karena yang duduk mengantri di dalam pun masih antri untuk mendapatkan nomor. Jadi, bapak ibu yang duduk di luar sini maupun yang berdiri, kami persilakan untuk pulang dan datang kembali minggu depan. Terima kasih.”
Seketika pun yang sudah duduk melihat mereka yang antri berdiri meninggalkan tempat satu per satu. Dari percakapan di antara mereka, banyak yang mengatakan sudah datang dari jam 5 pagi. Bahkan satpam pun menyatakan ada yang datang pukul 4 pagi tadi. Gile! Sudah macam Wedding Organizer yang punya hajatan saja ya standby dari subuh.
Penasaran. Aku pun bertanya ada berapa banyak loket antrian yang melayani nomor antrian. Jawaban petugas lapangan ini cukup menjawab panjangnya antrian yang terjadi… “ada 3 loket untuk nomor, mbak. Satu untuk manula, satu untuk online, satu untuk manual. Tapi setelahnya ada 7 loket untuk foto dan sidik jari.”
Now it does make sense kenapa banyak orang pun datang subuh. Jumlah loket (asumsi petugas terbatas) tidak akan sebanding dengan jumlah kehadiran orang yang mau mengurus paspor.
“Oh my dear beloved country.….” gumamku dalam hati.
“Memang harus datang subuh, mbak, kalau mau dapat antrian (nomor). Soalnya di semua kantor imigrasi sama kok jam buka tutup-nya.” ujar petugas lapangan yang sepertinya mengetahui pikiranku.
Baiklah…
That’s it. Aku pun berdiri dari antrian dan beranjak pergi. Meninggalkan 50 orang di depanku yang masih mau mencoba dan 25 orang di dalam yang sudah mulai gelisah juga. Percuma.
Jumlah petugas yang bertugas tidak sebanding dengan jumlah orang yang mengantri dan jam 10 tinggal beberapa menit lagi……
**
Terima kasih untuk hari ini, Imigrasi!